4.6( 8864)

Cerpen Cinta

Cerpen Cinta
Pagi ini kusambut hari dengan sumringah. Cayaha pagi di balik jendela terasa sangat indah. Tiba-tiba melintas seraut wajah nan ayu, bercahaya, pipi memerah terbias sinar mentari pagi.

Grik, grik... suara rantai sepeda ditemani kicauan burung merebah membuat mataku tidak pernah lepas dari sepasang betis putih yang turun naik.

Gadis putih, berlesung pipi itu tiba-tiba turun dari sepeda. Matanya melirik lambat ke kiri dan kanan. Mungkin dia khawatir ada kendaraan yang melintas, padahal hampir setiap pagi, komplekku tidak terlalu banyak kendaraan, kecuali jalan sebelah luar kompleks.

Kusibak gorden jendela, pada sebuah celah antara jendela dan pagar rumah, aku melihat wajahnya lengket sekali, tak peduli ada suara yang memanggilku dari dalam. Yang kuinginkan melihat lebih dekat. Wajah itu memang benar-benar mempesona diriku.

Ingin sekali aku berlari menembus daun jendela menyapa sang gadis, atau sekadar ingin menawarkan bantuan, mungkin saja dia sudah tidak sanggup lagi mengayuh sepedanya, karena sudah terpanggang cahaya matahari yang sudah mulai garang.

Tapi, kakiku seperti sedang dirantai besi besar, aku tidak bisa bergerak. Ingin ku menyapanya dari balik jendela, tapi aku merasa tidak bisa bersuara. Kalau pun aku berteriak, kupastikan dia tidak akan mendengar.

Belum puas aku melihat pipinya yang memerah bak delima merekah. Belum lagi sepuluh detik lamanya, tiba-tiba dia kembali mengayuh sepedanya dan menghilang di balik pagar besi hitam minimalis rumahku.

Ingin rasanya kususul menengok keluar pagar, di mana persinggahan terakhir sang gadis. Tapi rupanya aku tetap terpaku di balik jendela, membayangkan berkenalan dengannya, dia menyodorkan tangan, mata terbuka lebar dan senyum mengembang dihiasi lesung pipi.
***

Entah mengapa, pagi ini ada semangat empat lima di dadaku menunggu pagi dan waktu yang sama. Harapan hanya satu, kembali bisa melihat sang gadis dengan sepedanya.

‘’Kalau ada lagi gadis itu melintas, aku akan menyusulnya ke jalan dan menyapanya. Pokoknya kenalan’’.

Seperti sudah kubayangkan, akhirnya jadi kenyataan. Gadis rambut pendek sebahu itu lewat lagi. Dan tepat di depan rumahku dia berhenti, persis seperti semalam. Kali ini sang gadis mengenakan kaos lengan pajang dengan celana pendek selutut. Tetap menampakkan betis putih nan mulus, walau agak sedikit pucat.

Entah mengapa, aku tetap tidak berani menyapanya. Jangankan untuk menyapa, menggerakkan kaki, aku tidak bisa. Ku perhatikan dalam-dalam lesung pipi dan pipi merah terbias matahari. Kali ini aku seperti memperhatikan putri dari kayangan sedang turun ke bumi.

‘’Bang, tolong ambilkan sapu di depan,’’ teriak adik perempuanku. Aku seperti tidak peduli dengan panggilan apapun. Yang kuperhatikan hanya sang gadis dari ujung rambut hingga ujung kaki. Walau tidak terlalu jelas, tapi aku yakin gadis ini memang sangat mempesona.

‘’O, itu Wulan. Dia tetangga kita. Baru sebulan tinggal di kompleks ini.’’

Suara adikku mengejutkan ku. Dia pun ikut mengintip dari jendela.

‘’Ah, ganggu saja,’’ kataku dengan nada datar.

‘’Dia juga teman sekelasku.’’ Ucapan adikku memberi secercah sinar. Termnyata adikku menyimpan informasi yang sangat penting bagiku. Langsung kubayangkan, adikku sebagai tukang pos kalau aku mengirim surat atau untuk tahap awal meminta nomor HP-nya.

Hampir setiap pagi aku duduk di kursi bulat melihat dari celah-celah jendela ke depan rumah. Entah mengapa, mampir di waktu yang sama, sang gadis seperti sengaja berkaca di depan rumahku.

Wulan lewat lagi dengan sepedanya. Kali ini aku merasakan gataran di hati yang sangat hebat. Tiba-tiba aku ingin sekali memilikinya. Setiap melihat lesung pipinya dan pipi yang memerah di sinar matahari, jantungku berdetak cepat.

Tapi aneh, aku tidak punya keberanian sedikitpun keluar. Mungkin sekadar menyapanya dan memperkenalkan diri. Kenyataannya aku tetap di balik jendela itu.
***

Lewat adikku, akhirnya aku mendapatkan identitas Wulan yang diap-diam aku rindukan. Ketika mendengarkan keterangan dari adikku, aku tidak menyesal. Malah rasa kasihan, salut dan sayang bercampur jadi satu.

‘’Dia mengidap HIV.’’

‘’Serius kamu?” tanyaku, setengah tak percaya.

‘’Kata dokter, umurnya tinggal setahun lagi.’’

‘’Makanya dia suka keliling komplek dengan sepeda, katanya ingin menikmati hidup menjelang ajal,’’ adikku datar bercerita.

Kututup rasa cintaku, berusaha menampakkan wajah kasihan. Aku tidak mau adikku tahu bahwa aku mencintai gadis itu walau kami belum pernah bertegur sapa.

‘’Sampaikan salam Abang ya dengan Wulan,’’ aku mengeluarkan kata-kata sambil berlalu. Biar dia tahu aku hanya sekadar simpatik, karena kami bertetangga.

Tetapi di hati kecilku, aku tetap tidak percaya, umur Wulan tinggal setahun lagi. Ingin sekali aku mendampinginya dan memberikan semangat hidup, tentunya penuh dengan belaian dan tatapan cinta. Aku tidak peduli dan tidak mundur sedikitpun.
***

Pagi selanjutnya, aku kembali melihat Wulan. Bagiku wajahnya tetap tidak berubah, seperti biasa. Aku tidak menemukan bahwa Wulan memang mengidap HIV. Setahuku, orang HIV itu tidak mau keluar rumah, mengurung diri dan mengasingkan diri dari keramaian, sementara Wulan hampir setiap pagi olahraga sepeda.

Aku tetap tidak percaya Wulan seperti itu. Tapi tetap saja aku tidak berani melangkahkan kaki ke luar dam mengulurkan tangan berkenalan dengannya. Aku semakin sayang saja kepada gadis berlesung pipi dengan pipi memerah terbias cahaya matahari itu.

Wulan lebih lama berdiri di depan mataku pagi itu. Si lesung pipi itu, seolah memanggilku, mengapa hanya beraninya mengintip dari depan jendela.

Jemarinya yang lentik terus membelai stang sepeda. Gerakan tubuhnya seperti ingin memberi kesempatan kepada ku segera menembus jendela, mengulurkan tangan, menggenggam tangannya yang halus bak sutera, putih dan bersih.

Sekali-kali jarinya yang lentik menyibak rambut, dan menampakkan tengkuk yang putih mulus. Hati ku pun bergoncang seperti getaran handphone. Mataku tidak sekedip pun tertutup.

Padahal sejak awal duduk di jendela pagi itu, aku sudah berjanji akan melakukan apa saja, jika melihat Wulan, biar dia tahu kalau aku sangat mencintainya. Wulan tidak harus takut sendiri seperti di padang pasir. Ada aku yang kan mengantarkan seteguk air melepas dahaga. Akulah orang yang membasuh gundah hatinya menunggu ajal.

Aku sangat setuju prinsip yang dipegang Wulan. Walau tinggal sedetik, senyum tetap diberikan. Tapi aku tetap tidak bisa berlari dan berbuat apa-apa, ketika Wulan kembali mengayuh sepedanya, hilang di balik pagar.
***

Gerimis sejak sejam lalu, membuat hatiku makin resah. Wajah jelita di balik jendela, hari ini tidak lewat. Berulang kali aku melihat jam tangan, apakah salah waktu. Tapi Wulan tetap tidak muncul. Aku sabar menunggu, namun sudah satu jam Wulan juga tidak muncul. Aku binggung tak tahu berbuat apa.

Aku bayangkan ingin sekali menyusul ke rumahnya, melihat keadaannya. Bahkan membantu membawakan sepedanya agar gadis cantik ini tidak terlalu capek. Bahkan ingin aku mengambilkan segelas air untuk menhilangkan dahaganya. Memijit betisnya yang mulus, agar rasa lelah mengayuh sepeda hilang. Sambil memijit punggungnya dan bercerita tentang bunga-bunga di taman sedang mekar, seperti hatiku yang sedang mekar. Aku ingin penghibur kamu, agar kamu melupakan penyakit yang menggerogoti tubuhmu yang mulus.

Bahkan aku ingin menemanimu setiap hari. Aku tidak mau lesung pipimu tidak berseri lagi karena memikirkan umurmu.

Tapi, aku tetap duduk di balik jendela. Tidak ada yang kulakukan, hanya berharap kamu lewat. Meski rindu memuncak, akhirnya aku maklum, kamu tidak hadir pagi ini. Kalau pun kamu lewat, sebenarnya aku tidak rela kulitmu yang putih mulus harus basah walau hanya tersiram gerimis.

Hari selanjutnya, aku masih menunggu di balik  jendela. Bertambah sedetik waktu yang kulalui, aku semakin cemas, mengapa kamu tidak muncul lagi, padahal pagi ini sangat cerah. Apa kamu sakit dan tidak bisa mendayung sepeda lagi? Atau kamu dibawa papamu ke luar negeri untuk berobat? Atau kamu memang sudah bosan bersepeda keliling komlplek. Otakku terus berpikir apa yang telah terjadi dengan Wulan.

Wulan tak muncul juga. Rinduku semakin membuncah, tak tertahan lagi. Ingin sekali aku mengajak adikku untuk menemani ke rumah Wulan, tapi itu hanya sekedar ide. Aku tidak menemukan Wulan lewat lagi di depan rumahku. Tiga hari bagiku waktu yang sangat lama tidak melihat Wulan, rasanya seperti tiga tahun tidak berjumpa.

Wulan, ke mana kamu... hatiku terus berharap Wulan muncul di depan rumahku. Bahkan aku sudah berjanji untuk menguatkan hati, andai saja Wulan muncul, aku akan langsung keluar dan memperkenalkan diri, bahkan akan kuluahkan segala rasa yang terpendam selama ini. Semua rasa sudah seperti air bah yang sudah kelebihan air dan ingin tumpah.

Namun, semua tidak terjadi. Wulan tetap tidak muncul.
***

Tiga hari sudah, waktu menunggu sudah terlalu lama bagiku. Kali ini aku harus mengambil tindakan, datang ke rumahnya kalau perlu langsung mengatakan rasa yang terpendam selama ini.

Kali ini aku harus ke rumahnya. Harus, tidak bisa lama-lama lagi. Tak tahan. Kamu telah menebar pesona, sampai daun-daun cinta keluar dan meloncat dari dadaku. Wulan, kamu harus tahu semua yang aku rasa selama ini’’ aku terus bersiap-siap menyusun kata agar ketika berhadapan dengan pemilik pipi memerah di sinar matahari itu, langsung mengeluarkan senyum dan lesung pipinya.

‘’Aku juga mencitai kamu...’’ itulah kata-kata yang sangat aku tunggu yang keluar dari mulut Wulan.

Tekatku sudah bulat. Ku berdiri dan berjalan hingga depan pagar rumahku. Sinar mentari pagi menyapa ku. Biasan sinarnya tetap indah, walau tidak seindah jika saja Wulan ada di depan jalan ini.

Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, memastikan apakah Wulan sedang menuju ke arahku dengan sepeda. Aku seperti tahu arah yang akan kutuju, walaupun aku sebenarnya tidak tahu, Wulan tinggal di blok apa. Yang kutahi dari adikku, Wulan satu komplek dengan perumahanku ini.

Ingin sekali aku menanyakan kembali kepada adikku, tapi aku tidak mau adikku tahu, kalau aku ini jatuh cinta kepada temannya. Kalau pun aku ungkapkan soal ini, paling  adikku tidak percaya. ‘’Mana ada cinta tumbuh kepada orang yang sebentar lagi akan mati,’’ mungkin akan begitu pendapat adikku.

Entah energi dari mana, tiba-tiba aku memilih belok kanan, yang aku tahu Wulan sering meninggalkanku sendirian terpaku di balik jendela menuju ke arah kanan. Aku yakin ini jalannya. Mungkin saja rumahnya di ujung jalan itu... aku terus berharap bertemu dengan kekasih hatiku.
***

Aku sudah melewati puluhan rumah. Dari blok ke blok lainnya. Tetap aku tidak menemukan Wulan. Ketika aku mendekati simpang empat, dengan filing saja aku memilih belok kanan lagi. Ku jumpai sebuah bendera putih yang melambai seolah-olah sedang memangilku supaya datang mendekat.

Kulihat beberapa motor, mobil dan sebuah ambulan parkir di depan rumah yang mirip dengan rumahku, bercat biru diberi les kuning. Warna rumah yang tidak berubah sejak dibuat pengembang, sedangkan aku perhatikan rumah di sekitar sudah banyak yang berubah, direnovasi atau dicat ulang.

‘’Siapa yang meninggal?’’ tanyaku kepada seorang lelaki yang sedang berdiri di sampiang ambulan, kebetulan aku tahu dia adalah Ketua RT kami, Pak Imron.
‘’Anak tetangga kita yang baru’’

Tiba-tiba hatiku bergetar kencang, rasa cemas langsung menyerang seperti batu besar sedang menindih kepalaku. Aku langsung ingat Wulan yang sedang menunggu hari akhirnya. Tapi aku tidak percaya. Ingin kutanyakan lebih dalam lagi, tapi aku tidak mau Pak RT kembali bertanya setelah melihat kedukaan wajahku. Aku tidak mau ketahuan kalau aku mulai mencemaskan Wulan.

‘’Wulan  ya...’’ aku menebak spontan.

‘’Ya. Kasihan,’’ kata Pak RT datar dan spontan.

Tanganku mulai menggigil. Tuhan, belum sempat aku menyatakan cinta, tapi mengapa engkau panggil dia terlalu cepat.

Aku berusaha tenang. Hiruk-pikuk orang memasang tenda dan menyusun kursi tidakku hiraukan, yang aku rindukan kini adalah Wulan. Tapi aku bingung bagaimana dapat melihat wajahnya untuk terakhir kali, aku saja tidak kenal dengan orang tuanya.

‘’Semua urusan tuntut-menuntut dah selesai. Orang  tuanya merelakan,’’ kata Pak RT bicara kepada serang bapak di sebelahnya.

‘’Apa sebab meninggalnya Pak?’’ tiba-tiba aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.

‘’Gadis itu tidak sengaja ditabrak di simpang itu oleh orang komplek kita juga, karena buru-buru berangkat ke kantor...’’

‘’Kalau sudah ajal, bagaimana lagi,’’ Pak RT berujar pelan.

Tiba-tiba aku merasa Bumi ini berputar-putar. Ingin sekali aku tarik tangan pak RT untuk melihat wajah Wulan. Atau aku panggil adikku agar bisa membawa aku ke depan jasad melihat wajah Wulan, melukiskan wajahnya di awan, biar ketika aku rindu, awan bisa mengobati hati yang terluka seperti disayat sembilu.

Aku sudah tidak tahan lagi. Cintaku sudah tertambat pada wajah kaku di dalam rumah itu. Lerlalu cepat engkau pergi, sedangkan cintaku belum engkau jawab. Tiba-tiba aku menyalahkan diriku, coba saja ketika itu aku kejar Wulan untuk menyatakan cinta, paling tidak dia tahu bahwa ada cintaku yang memberikan kekuatan padanya.

Wulan, kamu memang gadis cantik yang mampu mencuri hatiku, meski cintaku seperti pungguk merindukan bulan, tapi darimu aku mengetahui makna cinta sebenarnya, bahwa cinta tidak memiliki batas bahkan jendela dan pagar sekalipun. Selamat jalan Wulan. Lesung pipi dan pipi memerah di sinar mentari pagi akan abadi di lubuk hatiku.***

Cerpen Cinta Menrizal Nurdin

Adalah wartawan Riau Pos, pengurus Yayasan Sagang, dan Pembantu Direktur III Bidang Kemahasiswaan Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR). Tinggal di Pekanbaru.

1 comment dapat Anda baca di bawah ini atau tambahkan satu.

Harap berkomentar sesuai dengan isi posting & komentar spam akan dihapus. Anda dapat menggunakan tag HTML: <a href=""></a>, <strong></strong>, <b></b>, <em></em>, <i></i>.